Banyaknya hoaks yang telah tersebar itu mengisyaratkan Indonesia darurat hoaks. Betapa tidak, jika satu orang bisa memproduksi dan menyebarkan hoaks hingga ratusan ribu, kalau ada 20 orang yang beroperasi sama, akan ada jutaan hoaks yang diproduksi.

Hoaks yang diproduksi secara massal dan disebar dengan viral akan memenuhi ruang publik. Ruang publik—meminjam istilah Habermas—pun akan riuh jauh dari keadaban. Padahal ruang publik merupakan media membangun jejaring dan kerja sama menuju masyarakat utama.

Saat ruang publik dipenuhi hoaks, maka secara langsung manusia diadu. Manusia dihadapkan pada realitas semua yang dapat memerosokkan dirinya pada pilihan keliru. Yaitu menyalahkan orang lain, berdasarkan berita bohong.

Saat seseorang telah terpancing amarah dan emosi, maka kekerasan pun menjadi pilihan selanjutnya. Bermuaranya kekerasan dari hasil olah hoaks akan memunculkan banalitas.

Banalitas kekerasan meminjam istilah Hannah Arendt berselimut dengan informasi bohong merupakan periode buruk keadaan masyarakat. Masyarakat akan berkelahi atas ketidakmengertiannya memahami sebuah informasi. Masyarakat pun akhirnya menjadi korban. Korban keganasan hoaks yang dapat memicu perpecahan, permusuhan, dan peperangan.

Kondisi itu perlu dicegah. Pasalnya, jika dibiarkan, maka kemanusiaan akan terenggut. Kemanusiaan akan jatuh pada lubang hitam permusuhan. Permusuhan yang berujung pada saling bunuh adalah periode terkelam kemanusiaan manusia.

Meminjam istilah Nurcholish Madjid, pembunuhan adalah sunnah sayyi’ah bagi anak turun Adam. Pembunuhan merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia pertama dan terberat dalam sistem sosial umat manusia.

#IndonesiaDamai